Sekolah
merupakan lembaga pendidikan bukan lembaga pengadilan yang bertugas untuk
memberi hukuman kepada siswa yang melakukan kesalahan. Oleh karena itu, semua
yang dilakukan oleh seorang guru di sekolah hendaknya dapat dimaknai sebagai
bagian dari proses pendidikan, termasuk di dalamnya ketika harus memberikan
sanksi (hukuman) kepada siswa yang melakukan sebuah kesalahan.
Siswa yang
bersalah memang harus diberi sanksi atau hukuman yang sesuai supaya dapat
menimbulkan efek jera, baik bagi siswa yang bersangkutan maupun bagi siswa
lain. Oleh sebab itulah, dalam memberikan sanksi kepada siswa sesungguhnya
bukan merupakan persoalan yang sederhana. Karena di satu sisi, hukuman yang
diberikan kepada siswa harus dapat “membebani” siswa untuk memberikan efek
jera, tapi di sisi lain hukuman tersebut juga harus tetap berada dalam koridor
proses pendidikan.
Mendidik
Pola
pendidikan yang diterapkan di sebagian sekolah atau lembaga lebih cenderung
melihat kesalahan anak didik adalah racun buat anak didik yang lain. Sebab ditakutkan
akan mempengaruhi siswa-siswa yang sehingga dengan berbagai cara para guru
memberikan sanksi fisik yang membuat anak didik itu trauma bahkan merasa di
anak tirikan di sekolah tersebut. Sehingga yang terjadi adalah setiap peserta
didik yang melakukan sebuah kesalahan maka akan langsung ditindak dan dihukum.
Hal tersebut pada akhirnya akan membuat anak didik menjadi seorang yang
penakut, tidak memiliki kreatifitas serta akan menjadi seoarang yang tidak
bertanggung jawab dalam melakukan sesuatu.
Ketika
seorang siswa melakukan kesalahan, seharusnya tugas seorang guru adalah memberi
tahu apa yang salah, menasehati serta membantu siswa memperbaiki kesalahan
tersebut. Dengan begitu, siswa akan belajar dari kesalahan yang telah ia
perbuat. Akan tetapi jika telah dibimbing, peserta didik tetap melakukan
kesalahan yang sama, maka siswa perlu ditindak dengan tegas dengan diberi
sanksi (hukuman).
Hukuman yang
diberikan kepada siswa tentu harus mendidik dan bisa membuat jera siswa
tersebut. Diantara sanksi yang mendidik misalnya guru dapat menyuruh siswa yang
berbuat salah untuk membaca buku di perpustakaan sekolah lalu meringkasnya. Hal
tesebut disamping dapat membangun budaya baca siswa, tentu saja siswa dapat
menambah wawasan keilmuan siswa. Jika kesalahan yang dilakukan oleh siswa
bersifat kolektif, maka guru dapat memberikan hukuman misalnya para siswa
diminta untuk membersihkan ruang kelas secara bergotong royong. Disamping
mengajarkan siswa untuk cinta kebersihan, hukuman ini juga sangat baik untuk
membangun kerjasama dan kebersamaan.
Saat ini
hukuman fisik tidak relevan lagi diterapkan disekolah, selain dilarang, hal
tersebut bisa menimbulkan trauma bagi siswa. Guru profesional tentu dapat
mengetahui perbedaan karakter masing-masing siswa, sehingga ketika siswa
melakukan kesalahan guru dapat menakar sanksi yang akan diberikan. Hukuman
tersebut tidak boleh membuat malu siswa, karena hukuman yang memperlakukan
justru dapat membangkitkan dendam dan berpotensi membuat siswa membuat
kesalahan lain yang lebih besar.
Tugas seorang
guru memanglah lengkap dalam segala hal baik manajemen sekolah, kepengurusan,
hingga sebagai orang tua ke dua setelah orang tua/wali murid peserta didik. Seandainya
seorang peserta didik itu sudah dikenal anak nakal atau sudah tidak bisa diurus
oleh sekolah apakah sebuah jaminan lagi jika anak didik tersebut dipindahkan
atau dikeluarkan dari sekolah agar dia lebih baik lagi dalam prestasi atau
prilaku kesehariannya.
Sebuah lembaga
atau sekolah dikatakan berhasil mendidik ketika semua peserta didik baik dalam
peningkatan prestasi dan sikap prilaku sopan santun di sekolah atau di luar
sekolahnya. Namun yang terlihat disebagian sekolah malah melupakan hal itu
yaitu mencoba mengadakan pendekatan emosional kepada siswa-siswi yang dikatakan
“NAKAL”.
Mari kita
mengenali apa itu hukuman dan konsekuensi menurut beberapa tulisan yang saya baca :
Hukuman
1.
Menjadikan siswa sebagai pihak yang tidak punya hak
tawar menawar dan tidak berdaya. Guru menjadi pihak yang sangat berkuasa. Ingat
“Power tends to corrupt”
2.
Jenisnya tergantung guru, apabila hati guru sedang
senang maka siswa terlambat pun tidak akan dikunci diluar.
3.
Bisa dijatuhkan berlipat-lipat derajatnya
terutama bagi siswa yang sering melanggar peraturan.
4.
Guru cenderung memberi cap buruk bagi anak yang sering
melanggar.
5.
Sifatnya selalu berupa ancaman
6.
Tidak boleh ada pihak yang tidak setuju, semua pihak
harus setuju. Jadi sifatnya memaksa.
Konsekuensi
1.
Dijatuhkan saat ada perbuatan yang terjadi dan
berdasarkan pada aturan yang telah disepakati.
2.
Sesuai dengan perilaku pelanggaran yang siswa lakukan.
3.
Menghindari memberi cap pada anak, dengan memberi cap
jelek akan melahirkan stigma pada diri anak bahwa ia adalah pribadi yang
berperilaku buruk untuk selama-lamanya.
4.
Membuat siswa bertanggung jawab pada pilihannya. Anda
bisa mengatakan “Kevin kamu memilih untuk ribut pada saat bu guru sedang
menerangkan maka silahkan duduk di luar selama 5 menit”. Dengan demikian anda
menempatkan harga diri anak pada peringkat pertama. Bandingkan dengan perkataan
ini “Kevin, dasar kamu anak tidak tahu peraturan,…. tukang ribut! Sana
keluar….!